Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan
atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili
sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan
Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum, jika
tidak diselesaikan di lembaga arbitrase.
Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang
beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi :
a. Bank syariah,
b.Lembaga keuangan mikro syari’ah,
c. asuransi syari’ah,
d. reasurasi syari’ah,
e. reksadana syari’ah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. Pembiayaan syari’ah,
i. Pegadaian syari’ah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
k. bisnis syari’ah
b.Lembaga keuangan mikro syari’ah,
c. asuransi syari’ah,
d. reasurasi syari’ah,
e. reksadana syari’ah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. Pembiayaan syari’ah,
i. Pegadaian syari’ah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
k. bisnis syari’ah
Yang
menjadi masalah dalam hal ini adalah bahwa rujukan para hakim dalam
memutuskan perkara ekonomi syariah belum tersedia dalam bentuk
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana yang terdapat pada hukum
perkawinan, warisan, waqaf , washiat dan hibah. KHI dalam bidang-bidang
ini telah dikeluarkan melalui Inpres No 1/1991.Urgensi pembentukan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga dikarenakan hukum fiqh tentang
aspek muamalah ini sangat beragam, apalagi persoalan muamalah ini
adalah persoalan yang lebih terbuka bagi ijttihad, dibanding masalah
ibadah. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum, sehingga keputusan
para hakim di berbagai pengadilan tidak berbeda-beda dalam kasus yang
sama.
Materi Dasar Kompilasi
Peraturan
Bank Indonesia (PBI) sangatlah tidak memadai untuk dijadikan rujukan
dalam memutus perkara ekonomi syariah, karena peraturan yang
dikeluarkanya hanya berkaitan dengan masalah perbankan, sedangkan
masalah hukum ekonomi syariah lainnya tidak diatur, karena bukan
wewenangnya. Demikian pula fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional yang
telah berjumlah 54 fatwa. Selain kedudukakannya secara konstitusisonal
tidak kuat dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia,
fatwa tersebut juga masih sangat ringkas, karena hanya berupa intisari
(matan) yang membutuhkan penjelasan rinci. Namun demikian, baik PBI
maupun fatwa DSN bisa dijadikan sebagai salah satu materi penyusunan
draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Materi penyusunan KHI
juga dapat merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah
dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani. yang disebut dengan
Al-Majjalah Al-Adliyah Al-Ahkam yang terdiri dari 1851 Pasal. KUH
Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas materi dan
bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di
zaman modern ini
Indonesia seyogianya membuat
Kitab-Undang-Undang dalam bentuk Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam
sebagaimana yang dilakukan Turki Usmani. Namun upaya tersebut saat ini,
tampaknya masih sulit diwujudkan karena prosesnya panjang, baik di
dalam persiapan materi, apalagi pembahasan di lembaga legislatif. Oleh
karena itu, kita akan merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam yang
dapat dikeluarkan melalui inpres atau kepres. Di masa depan, kedudukan
Kompilasi ini seharusnya ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah
(PP), sehingga secara hirarkis kedudukannya satu tingkat di bawah
Undang-Undang.
Peran Pemerintah
Upaya
penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini dapat terwujud
melalui peran penting pemerintah, sebagaimana telah diterapkan pada
penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini (Inpres No
1/1991). Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia, Departemen Hukum dan
HAM melalui BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bekerjasama dengan
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, membentuk Tim
penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. BPHN dan UIN Jakarta
bersinergi dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang merupakan ara
dosen Pascasarjana UI. Upaya ini mendesak dilakukan mengingat praktek
ekonomi syariah telah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia
dalam bentuk perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah,
reksadana syariah, obligasi sariah, pegadaian syariah, lembaga
keuangan mikro syariah dan sejumlah perusahaan sektor riil syariah.
Metodologi
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan falsahah Hukum Islam, Disiplin ushul fiqh ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum ekonomi Islam tsb. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi syariah..
Bentuk ijtihad yang digunakan adalah ijtihad jama’iy yaitu berijtihad secara kolektif, di mana para ulama, pakar dan praktisi ekonomi syariah merumuskan dan menyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Islam tersebut secara bersama-sama, sehingga kekuatan hukumnya jauh lebih kuat dan akurat..
Penutup
Kemestian hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi syariah di Indonesia dipandang sangat mendesak, karena ekonomi syariah telah dipratekkan dalam masyarakat. Jangan sempat terjadi kekosongan hukum dalam bidang ekonomi syariah atau masih memadakan KUH Perdata konvensional yang notebene adalah terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan kolonial. BW tersebut masih banyak tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bahkan juga tidak sesuai dengan jiwa hukum ekonomi syariah. Meskipun demikian, mungkin saja ada klausa-klausa yang masih relevan. Dalam hal ini kita terapkan Al-Muhafazah ’alal qadim ash-sholih wal-akhzu bil jadid al-ashlah (artinya, memelihara hukum masa lalu yang relevan dan mengandung kemaslahatan dan mengambil hal-hal baru yang lebih maslahah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar